RI Setop Ekspor Nikel, Tapi Ada yang Impor dari Tetangga

RI Setop Ekspor Nikel, Tapi Ada yang Impor dari Tetangga – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan terdapat perusahaan asal Indonesia yang melakukan kegiatan pembelian bijih nikel dari luar negeri. Padahal Indonesia sendiri merupakan negara penghasil nikel terbesar di dunia saat ini.

Plt. Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Muhammad Wafid membeberkan terdapat perusahaan yang melakukan impor bijih nikel dari Filipina. Perusahaan tersebut beralasan impor bijih nikel dilakukan lantaran kurangnya pasokan bahan baku di dalam negeri.

RI Setop Ekspor Nikel, Tapi Ada yang Impor dari Tetangga

“Ada isu nikel yang diimpor dari Filipina karena smelter kekurangan bahan”, kata Wafid di Gedung Kementerian ESDM, Senin (28/8/2023).

Namun, Wafid memastikan bahwa berdasarkan perhitungan seluruh Rencana Keuangan dan Anggaran (RKAB) nikel yang dikeluarkan, bijih nikel untuk pasokan smelter di dalam negeri seharunya mencukupi.

“Saya sampaikan bahwa saya coba hitung seluruh RKAB yang sudah kita setujui jumlahnya berapa input nikel yang dibutuhkan berapa hasilnya masih cukup. Tidak ada kekurangan di sektiar Sulawesi Utara, jadi terpaksa harus impor mungkin hal lain ya”, tambah Wafid.

Baca Juga: Gempa Melanda Tanah Bumbu dan Lombok, Terasa Hingga Jawa Timur

Sebelumnya, Kementerian ESDM memperkirakan daya tahan cadangan nikel Indoneisa hanya berada pada kisaran 10-15 tahun saja. Oleh sebab itu, kegiatan eksplorasi untuk mendapatkan cadangan baru penting untuk segera dilakukan.

Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Pengembangan Industri sektor ESDM, Agus Tjahajana Wirakusumah menilai moratorium pembangunan smelter nikel baru perlu segera dilakukan. Khususnya smelter berteknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) yang menghasilkan produk olahan nikel kelas dua berupa nickel pig iron (NPI) dan feronikel (FeNi).

“Himbauan pak Menteri memang (moratorium) lebih baik daripada kesulitan nanti, itu tadi sudah disampaikan bahwa cadangan diperkirakan antara 10 sampai 15 tahun dari hitungan Minerba mungkin 13 tahun lah pertengahan. Kira-kira seperti itu, itu yang harus kita lihat”, ujarnya dalam acara Mining Zone CNBC Indonesia, dikutip Rabu (23/8/2023).

Menurut Agus pembatasan pembangunan smelter baru berjenis RKEF perlu segera dilakukan lantaran jumlah yang ada saat ini sudah cukup banyak. Setidaknya berdasarkan catatan Kementerian ESDM, terdapat 97 proyek smelter yang menggunakan teknologi ini.

“Jadi ya tentu kita harus pertimbangkan segitu banyak. Apakah ada cadangan atau enggaknya”, kata dia.

Agus mengatakan moratorium pembangunan smelter baru nantinya hanya terbatas pada smelter diutup yang dihimbau oleh Pak Menteri adalah yang pirometalurgi tapi tidak hidrometalurgi. Hidrometalurgi kita tetap masih terbuka untuk itu”, tambahnya.